Dimensi Perantara
Salam itu masih terngiang-ngiang dalam otakku. Sampai-sampai aku lupa bahwa dia sudah bahagia dengan orang lain. Lupa bahwa mungkin salamnya hanya basa basi saja. Atau mungkin tidak adanya topik yang ia bahas dengan saudaraku sampai-sampai mengirimkan salam untukku. Entahlah. Tapi salam itu sampai saat ini masih saja berkeliling di otakku. Tidak bisa dipungkiri memang bahwa suasana hati sebaik apapun atau seburuk apapun jika kembali bertabrakan dengan hal yang berkaitan dengannya pertahananku akan hancur begitu saja. Mungkin itulah salah satu alasan aku tidak pernah lagi mau membahas sosoknya. Sampai pada akhirnya, oke. Ini sudah sangat mengganggu pikiranku dan aku pun hanya bisa halu dan menuliskannya.
Hari itu, hari Minggu saat aku bersama sepupuku akan menghadiri sebuah hajatan nikahan teman. Saat itu, saudaraku sedang berada di depan rumah. Sambil menjatuhkan alas kakiku ke tanah dan meminta izin ke ibuku, tiba-tiba kata itu keluar dari mulut saudaraku.
“Alea, dapet salam dari Eza.” Teriaknya
Pertahanan yang sudah aku bangun berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun hancur begitu saja saat mendengar nama itu. Nama yang akan selalu tersimpan di ruang hatiku sendiri, yang hanya bisa dikenang. Sontak kujawab saja dengan kalimat basa-basi untuk mengakhiri percakapan itu, “Oh, masih kerja di sana dia?” Jawabku. “Iya, masih” Kata saudaraku. Topik pembicaraan pun seketika berubah tentang aku dan sepupuku hendak kemana, ke rumah siapa dan lain-lain. Tanpa berlama-lama, sepupuku pun melajukan sepeda motornya dan pergi meninggalkan halaman rumah. Sungguh suasana hati yang tidak pernah aku harapkan sebelumnya karena jauh sebelum hari itu sebenarnya aku sudah sangat bodo amat dengannya. Pasrah dengan keadaan apa yang akan terjadi ke depan. Walaupun dalam hatiku masih selalu ingin dengar kabar tentangnya, kembali berkomunikasi dengannya. Atau syukur-syukur bisa kembali berhubungan dengannya. Halu yang sangat tidak mungkin dengan segala jenis kemustahilannya bukan? Tapi ya sudahlah. Terimakasih. Setidaknya harapku selama ini masih terjawab, walau dengan perantara.
Aku ingat,
beberapa minggu lalu aku juga baru balik dari tempat pertama kali aku dan dia
berdua. Bukan berdua juga sih, berenam. Lihat ATV, ingatanku kembali ke 8 tahun
lalu. Waktu angkatanku study tour dan
dia menyewa ATV untuk memboncengkanku. Iya, niatnya sih memboncengkanku tapi
yang terjadi adalah aku menolaknya. Bukan menolak, aku malu dan dalam diriku
masih merasa perbuatanku itu salah. Alhasil, kita hanya duduk dan berdiri
melihat pantai, bercakap satu sama lain yang sebagian besar aku hanya diam. Rindu
sekali masa itu, masa aku dan dia bisa duduk bersama, bercakap tanpa ada
balasan tapi aku merasakan itulah kenikmatan rasa cintaku dengannya. Tak peduli
seberapa besar aku selalu mengecewakannya, namun dia tidak pernah memilih jalan
kemarahan dalam menanggapiku. Dengan santainya, ya sudah yuk yang lain aja!
Tawaran yang juga solusi dewasanya.
Aku tak
pernah tahu apa yang ada dalam hatinya, bahkan jika aku tahu pun mungkin aku
akan mempercayai bahwa dia sangat baik menjadi pasanganku kala itu. Bahkan saat
ini, saat aku sudah tidak lagi menjadi pasangannya. Dia selalu terkenang dengan
segala kebaikannya. Bahkan aku tidak pernah tahu apa keburukannya padaku, yang
kuingat adalah banyak kali kuberbuat salah dengannya. Bahkan di saat terakhirku
bersapa dengannya. Maaf ya, Za.
“Jika ada
kata yang lebih besar dari kata maaf, pasti sudah aku gunakan untuk
mengungkapkannya padamu. Dan jika ada kata lebih besar dari kata terimakasih,
pasti sudah kugunakan untukmu atas segala kebaikanmu”.
Kamu baik,
Za. Dan akan selalu baik di mataku.
Comments
Post a Comment